SEJARAH SISTEM POLITIK INDONESIA

Sejarah Sistem Politik Indonesia bisa dilihat dari proses politik yang terjadi di dalamnya. Namun dalam menguraikannya tidak cukup sekedar melihat sejarah Bangsa Indonesia tapi diperlukan analisis sistem agar lebih efektif. Dalam proses politik biasanya di dalamnya terdapat interaksi fungsional yaitu proses aliran yang berputar menjaga eksistensinya. Sistem politik merupakan sistem yang terbuka, karena sistem ini dikelilingi oleh lingkungan yang memiliki tantangan dan tekanan.

Dalam melakukan analisis sistem bisa dengan pendekatan satu segi pandangan saja seperti dari sistem kepartaian, tetapi juga tidak bisa dilihat dari pendekatan tradisional dengan melakukan proyeksi sejarah yang hanya berupa pemotretan sekilas. Pendekatan yang harus dilakukan dengan pendekatan integratif yaitu pendekatan sistem, pelaku-saranan-tujuan dan pengambilan keputusan

Proses politik mengisyaratkan harus adanya kapabilitas sistem. Kapabilitas sistem adalah kemampuan sistem untuk menghadapi kenyataan dan tantangan. Pandangan mengenai keberhasilan dalam menghadapi tantangan ini berbeda diantara para pakar politik. Ahli politik zaman klasik seperti Aristoteles dan Plato dan diikuti oleh teoritisi liberal abad ke-18 dan 19 melihat prestasi politik dikuru dari sudut moral. Sedangkan pada masa modern sekarang ahli politik melihatnya dari tingkat prestasi (performance level) yaitu seberapa besar pengaruh lingkungan dalam masyarakat, lingkungan luar masyarakat dan lingkungan internasional.

Pengaruh ini akan memunculkan perubahan politik. Adapun pelaku perubahan politik bisa dari elit politik, atau dari kelompok infrastruktur politik dan dari lingkungan internasional.
Perubahan ini besaran maupun isi aliran berupa input dan output. Proes mengkonversi input menjadi output dilakukan oleh penjaga gawang (gatekeeper).

Terdapat 5 kapabilitas yang menjadi penilaian prestasi sebuah sistem politik :
1. Kapabilitas Ekstraktif, yaitu kemampuan Sumber daya alam dan sumber daya manusia. Kemampuan SDA biasanya masih bersifat potensial sampai kemudian digunakan secara maksimal oleh pemerintah. Seperti pengelolaan minyak tanah, pertambangan yang ketika datang para penanam modal domestik itu akan memberikan pemasukan bagi pemerintah berupa pajak. Pajak inilah yang kemudian menghidupkan negara.

2. Kapabilitas Distributif. SDA yang dimiliki oleh masyarakat dan negara diolah sedemikian rupa untuk dapat didistribusikan secara merata, misalkan seperti sembako yang diharuskan dapat merata distribusinya keseluruh masyarakat. Demikian pula dengan pajak sebagai pemasukan negara itu harus kembali didistribusikan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.

3. Kapabilitas Regulatif (pengaturan). Dalam menyelenggaran pengawasan tingkah laku individu dan kelompok maka dibutuhkan adanya pengaturan. Regulasi individu sering memunculkan benturan pendapat. Seperti ketika pemerintah membutuhkan maka kemudian regulasi diperketat, hal ini mengakibatkan keterlibatan masyarakat terkekang.

4. kapabilitas simbolik, artinya kemampuan pemerintah dalam berkreasi dan secara selektif membuat kebijakan yang akan diterima oleh rakyat. Semakin diterima kebijakan yang dibuat pemerintah maka semakin baik kapabilitas simbolik sistem.

5. kapabilitas responsif, dalam proses politik terdapat hubungan antara input dan output, output berupa kebijakan pemerintah sejauh mana dipengaruhi oleh masukan atau adanya partisipasi masyarakat sebagai inputnya akan menjadi ukuran kapabilitas responsif.

6. kapabilitas dalam negeri dan internasional. Sebuah negara tidak bisa sendirian hidup dalam dunia yang mengglobal saat ini, bahkan sekarang banyak negara yang memiliki kapabilitas ekstraktif berupa perdagangan internasional. Minimal dalam kapabilitas internasional ini negara kaya atau berkuasa (superpower) memberikan hibah (grants) dan pinjaman (loan) kepada negara-negara berkembang.

Ada satu pendekatan lagi yang dibutuhkan dalam melihat proses politik yaitu pendekatan pembangunan, yang terdiri dari 2 hal:
a. Pembangunan politik masyarakat berupa mobilisasi, partisipasi atau pertengahan. Gaya agregasi kepentingan masyarakat ini bisa dilakukans ecara tawaran pragmatik seperti yang digunakan di AS atau pengejaran nilai yang absolut seperti di Uni Sovyet atau tradisionalistik.
b. Pembangunan politik pemerintah berupa stabilitas politik

PROSES POLITIK DI INDONESIA
Sejarah Sistem politik Indonesia dilihat dari proses politiknya bisa dilihat dari masa-masa berikut ini:
- Masa prakolonial
- Masa kolonial (penjajahan)
- Masa Demokrasi Liberal
- Masa Demokrasi terpimpin
- Masa Demokrasi Pancasila
- Masa Reformasi
Masing-masing masa tersebut kemudian dianalisis secara sistematis dari aspek :
• Penyaluran tuntutan
• Pemeliharaan nilai
• Kapabilitas
• Integrasi vertikal
• Integrasi horizontal
• Gaya politik
• Kepemimpinan
• Partisipasi massa
• Keterlibatan militer
• Aparat negara
• Stabilitas
Bila diuraikan kembali maka diperoleh analisis sebagai berikut :
1. Masa prakolonial (Kerajaan)
• Penyaluran tuntutan – rendah dan terpenuhi
• Pemeliharaan nilai – disesuikan dengan penguasa atau pemenang peperangan
• Kapabilitas – SDA melimpah
• Integrasi vertikal – atas bawah
• Integrasi horizontal – nampak hanya sesama penguasa kerajaan
• Gaya politik - kerajaan
• Kepemimpinan – raja, pangeran dan keluarga kerajaan
• Partisipasi massa – sangat rendah
• Keterlibatan militer – sangat kuat karena berkaitan dengan perang
• Aparat negara – loyal kepada kerajaan dan raja yang memerintah
• Stabilitas – stabil dimasa aman dan instabil dimasa perang
2. Masa kolonial (penjajahan)
• Penyaluran tuntutan – rendah dan tidak terpenuhi
• Pemeliharaan nilai – sering terjadi pelanggaran ham
• Kapabilitas – melimpah tapi dikeruk bagi kepentingan penjajah
• Integrasi vertikal – atas bawah tidak harmonis
• Integrasi horizontal – harmonis dengan sesama penjajah atau elit pribumi
• Gaya politik – penjajahan, politik belah bambu (memecah belah)
• Kepemimpinan – dari penjajah dan elit pribumi yang diperalat
• Partisipasi massa – sangat rendah bahkan tidak ada
• Keterlibatan militer – sangat besar
• Aparat negara – loyal kepada penjajah
• Stabilitas – stabil tapi dalam kondisi mudah pecah
3. Masa Demokrasi Liberal
• Penyaluran tuntutan – tinggi tapi sistem belum memadani
• Pemeliharaan nilai – penghargaan HAM tinggi
• Kapabilitas – baru sebagian yang dipergunakan, kebanyakan masih potensial
• Integrasi vertikal – dua arah, atas bawah dan bawah atas
• Integrasi horizontal- disintegrasi, muncul solidarity makers dan administrator
• Gaya politik - ideologis
• Kepemimpinan – angkatan sumpah pemuda tahun 1928
• Partisipasi massa – sangat tinggi, bahkan muncul kudeta
• Keterlibatan militer – militer dikuasai oleh sipil
• Aparat negara – loyak kepada kepentingan kelompok atau partai
• Stabilitas - instabilitas
4. Masa Demokrasi terpimpin
• Penyaluran tuntutan – tinggi tapi tidak tersalurkan karena adanya Front nas
• Pemeliharaan nilai – Penghormatan HAM rendah
• Kapabilitas – abstrak, distributif dan simbolik, ekonomi tidak maju
• Integrasi vertikal – atas bawah
• Integrasi horizontal – berperan solidarity makers,
• Gaya politik – ideolog, nasakom
• Kepemimpinan – tokoh kharismatik dan paternalistik
• Partisipasi massa - dibatasi
• Keterlibatan militer – militer masuk ke pemerintahan
• Aparat negara – loyal kepada negara
• Stabilitas - stabil
5. Masa Demokrasi Pancasila
• Penyaluran tuntutan – awalnya seimbang kemudian tidak terpenuhi karena fusi
• Pemeliharaan nilai – terjadi Pelanggaran HAM tapi ada pengakuan HAM
• Kapabilitas – sistem terbuka
• Integrasi vertikal – atas bawah
• Integrasi horizontal - nampak
• Gaya politik – intelek, pragmatik, konsep pembangunan
• Kepemimpinan – teknokrat dan ABRI
• Partisipasi massa – awalnya bebas terbatas, kemudian lebih banyak dibatasi
• Keterlibatan militer – merajalela dengan konsep dwifungsi ABRI
• Aparat negara – loyal kepada pemerintah (Golkar)
• Stabilitas stabil
6. Masa Reformasi
• Penyaluran tuntutan – tinggi dan terpenuhi
• Pemeliharaan nilai – Penghormatan HAM tinggi
• Kapabilitas –disesuaikan dengan Otonomi daerah
• Integrasi vertikal – dua arah, atas bawah dan bawah atas
• Integrasi horizontal – nampak, muncul kebebasan (euforia)
• Gaya politik - pragmatik
• Kepemimpinan – sipil, purnawiranan, politisi
• Partisipasi massa - tinggi
• Keterlibatan militer - dibatasi
• Aparat negara – harus loyal kepada negara bukan pemerintah
• Stabilitas – instabil
 

RANGKUMAN MATERI SAN

Dalam SAN, sistem diartikan sebagai totalitas susunan atau jaringan.
ü         Kerangka dasar SAN  ada dua: (1) sistem; (2) Administrasi Negara
(1) Sistem : merupakan totalitas daripada komponen-komponen yang saling berinteraksi, berinterelasi dan berinterdependensi.
a.             Interaksi         : aktivitas yang dilakukan oleh komponen sistem
b.            Interelasi       : menjalin hubungan dengan komponen lain
c.             Interdependensi: saling ketergantungan antara komponen yang satu dengan komponen yang lain.
            Ketiga hal tersebut merupakan komponen sistem yang menyebabkan sistem menjadi suatu totalitas.
            Komponen utama sistem: Input (masukan utama berupa informasi, energi, bahan-bahan); Conversion; Output; Feedback
ü  SAN sebagai sistem memiliki sifat-sifat:
a.     Abstrak : tidak berwujud, tidak dapat disentuh
b.     Buatan: dirancang dan dikendalikan oleh manusia
c.     Terbuka: peka terhadap pengaruh lingkungan
d.     Hidup: terus berkembang karena sifatnya yang terbuka
            Kompleks: (1) terdapat banyak komponen; (2) sebagai totalitas: berinteraksi dengan sistem lainnya
ü  Sebagai sistem, maka:
a.     Administrasi Negara terdiri dari berbagai subsistem antara lain, tugas pokok, fungsi kelembagaan, ketatalaksanaan, kepegawaian, sarana dan prasarana.
b.     Berinteraksi dengan sistem lain, seperti sistem politik, ekonomi, budaya dan agama.
c.     Berinteraksi dengan ekosistem seperti geografi, demografi dan kekayaan alam
            Berdasarkan interaksi dengan lingkungan, SAN termasuk sistem terbuka-> memungkinkan adanya interaksi dengan lingkungan.
            Karakteristik sistem terbuka:
a.     Mendatangkan energi/ mengimpor energi dari lingkungan
b.     Mentransformasi energi
c.     Mengekspor hasil-> menyampaikan hasil pada lingkungan
d.     Memiliki rangkaian peristiwa-> mempunyai pola kegiatan dan pertukaran energi
e.     Negentropi-> sistem terbuka harus bergerak  melawan proses entropi (menuju kehancuran)
f.        Balikan negatif-> sistem yang terbuka memperoleh informasi tentang kekurangan produk dan jasa
g.     Homeostatis Dinamis-> mempunyai mekanisme untuk mengatur sedemikian rupa sehingga mencapai keadaan yang mentap dan terus berubah mengikuti perubahan lingkungan.
h.     Diferensiasi-> sistem cenderung berkembang multiplikasi dan peranan dengan spesialisasi fungsi
i.         Ekuifinalitas
j.         Sistem terbuka mempunyai kemampuan untuk mencapai hal yang sama dari kondisi yang berbeda dengan proses yang berbeda
            Sistem dapat eksis jika sistem tersebut bisa mempengaruhi dan dipengaruhi lingkungan-> dengan kata lain, sistem/ organisasi akan eksis jika dapat memenuhi tuntutan lingkungan.
            Proses bekerjanya sistem dalam pengertian Kazt & Rosenzwieg dimaksudkan bahwa sistem berlangsung dalam organisasi yang  melibatkan manajemen, karena itulah harus reaktif dan antipatif

ü Ekologi: merupakan cabang biologi yang mempelajari hubungan organisme hidup dengan lingkungannya, dimana organisme tersebut hidup.
            Studi ekologi akhirnya dikembangkan untuk melihat ekologi yang ada pada manusia (human         ecologis), dimana pada realitanya manusia juga mempunyai hubungan timba balik dengan          lingkungannya.
            Ekologi Administrasi Negara: bahwa adm.neg adalah sistem yang hidup.Yang dilihat yaitu: interaksi pola organisme dengan lingkungan.
ü  Pendekatan untuk mempelajari ekologi Adm.neg:
1.      Teoritis: Paradigma II= prinsip-prinsip administrasi yang diharapkan bersifat universal
Dibantah oleh Robert Dahl: perbedaan visi misi, pribadi, dan setting sosial.
2.      Praktis: bantuan untuk negara yg baru merdeka->pengiriman ahli2 yang mampu memanagment pemerintah dengan baik (faktanya, aplikasinya tidak semuanya berhasil).Hal ini dikarenakan beda kultur, lingkungan, politik dan sistem ekonomi.
Jadi, memindahkan sistem dalam lingk.adm,neg belum tentu tepat.
ü Unsur-unsur sistem  SAN:
a.     Lingkungan sebagai stimulus untuk administrator bekerja (dalam lingkungan ini ada subyek yang memberikan masukan (masukan dalam SAN):
-tuntutan/keinginan:pembagian barang dan jasa
-sumber daya dan dana: tenaga pegawai yang memiliki keahlian teknologi dan penyediaan kekayaan &bahan mentah
-dukungan: ketaatan terhadap UU, PP
-Oposisi: menghambat, bahkan dapat menghentikan proses konversi
b.     Konversi: proses yang menyengkut unit adminsitratif sebagai pelaku dari pengambilan keputusan, pelaksanaan, pengontrolan dan pengendalian.
c.     Keluaran: berupa barang dan jasa, penyampaian informasi dan pengaturan perilaku
d.     Umpan balik: pengaruh dari keluaran terdahulu, untuk dijadikan masukan baru, sehingga keberadaan umpan balik ini, sekaligus membuktikan keberlanjutan interkasi antara seorang adminsitrator dan sumber-seumber lainnya.
ü Model: alat ciptaan manusia untuk menganalisis gejala-gejala (realita) yang sangat kompleks
            Sebagai model. SAN hanya da di pikiran dan tidak melekat pada fakta.
            Dengan model, maka gejala admn.neg. yang kompleks bisa disederhanakan.
ü  Keuntungan model dalam SAN:
n  Dapat menganalisa gejala yang kompleks.
n  Dapat mengetahui apa yang menjadi komponen SAN.
n  Dapat diketahui bagaimana hubungan antara komponen.
n  Dapat mengetahui yang terjadi jika salah satu komponen tersebut berubah, hilang, diganti.
n  Dapat menganalisa realita tanpa mengganggu proses sistem.
Model Sistem
1.Modified Traditional: model tradisional yang sudah dimodifikasi.
SAN yang tradisional hanya melihat atas dasar proses (Planning, Coordinating, Organizing)
2.  Development Oriented : Pendekatan yang lebih praktis, melihat perkembangan negara-negara maju dan kemudian diterapkan di negara berkembang. Dalam hal ini Cultural Born sudah turut berpengaruh.
3.General Theory System Model Building: bahwa SAN mempengaruhi sekaligus dipengaruhi lingkungan.Terbagi atas: Bimodel Agraria-Industria dan Model Sala. Sosiologi membagi masyarakta menjadi:
Kelompok masyarakat agraris dan kelompok masyarakat industri.
            Dari pengelompokkan ini maka SAN dalam kelompok    masyarakat dibedakan menjadi dua yaitu SAN pada masyarakat    agraris disebut Agraria dan SAN pada masyarakat industri disebut        industria. Perbedaan tersebut dapat ditinjau dari bebebrapa sudut   pandang yaitu :
            1. Ekonomi, bahwa masyarakat cenderung bergerak dari agraris       ke industri dan bukan sebaliknya.
            2.  Tingkat struktur diferensiasinya 
·         Dalam masyarakat agraris satu struktur menjalankan beberapa fungsi (fused society). Fungsi politik, ekonomi, sosial dan lainnya menyatu dalam satu fungsi. Masyarakat tersusun atas dasar hubungan kekeluargaan atau kekerabatan yang dikepalai oleh seorang kepala suku yang mengemban berbagai fungsi.
·         Dalam masyarakat industri satu struktur menjalankan satu fungsi (Diffracted Society) dimana setiap lembaga menjalankan fungsi tertentu yang berbeda.
            3.  Pola prilaku
·         Pada masyarakat industri sudah sangat jelas, karena sudah ada dan sudah diatur dengan norma (tata nilai) yang universal
·         Pada masyarakat agraris norma perilaku bersifat partikular, sifatnya khusus, lokal, setempat. Dalam arti norma yang dapat diterima oleh satu daerah tetapi belum tentu di daerah lain juga diterima.  Kalaupun ada norma masih berupa konvensi yang tingkat sanksinya ”rendah’.
            4.  Mobilitas
·         Masyarakat agraris, hidup dalam kelompok kecil yang terikat tempat tinggal tertentu sehingga mobilitas sosialnya rendah.
·         Sementara pada masyarakat industri mobilitas atau perpindahan dari satu tempat ke tempat lain sudah tinggi.
            5.  Status seseorang
·         Masyarakat agraris, status seseorang tidak ditentukan oleh kemampuan dirinya tetapi oleh keturunannya atau dibawa sejak lahir. (sebagai Ascribed Status)
·         Sedang pada masyarakat industri, seseorang memperoleh status karena kemampuan dan kecakapan yang dimilikinya , karena prestasi yang dia raih (Achieved Status)
            6.  Spesialisasi
·         Tingkat spesialisasi masyarakat agraris rendah. Dimana hampir semua penduduk (mayoritas) adalah petani.
·         Tingkat spesialisasi masyarakat industri tinggi sekali.
            7.  Keberadan organisasi
·         Pada masyarakat agraris, tidak dikenal organisasi
·         pada masyarakat industri telah mengenal organisasi bahkan sangat diperlukan sehingga muncul kelompok-kelompok organisasi kecil, kelompok kepentingan,dll.
                      Menurut Riggs, SAN dimanapun adanya selalu berkait dengan pengalokasian dan pendistribusian barang-barang dan jasa.
SAN AGRARIA  mempunyai ciri-ciri :
ª  Sistem ekonominya tertutup dan terbatas
                        Dalam arti barang diproduksi sendiri dan dikonsumsi sendiri.
                        Keadaan ini memungkinkan munculnya barter.
ª  Sistem yang terbatas menyebabkan segala sesuatu dilakukan oleh pemerintah sendiri.
                        Dalam arti pemerintah menciptakam rasa aman untuk dirinya                         sendiri dan masyarakat hanya memperoleh luberannya saja.
SAN AGRARIA dibedakan menjadi 2 model, yaitu:
a. Inner Teritory
n  Daerah yang subur
n  Penduduk padat
n  Menjadi pusat pemerintahan
n  Sistem pengairan relatif berkembang
n  Perkembangan sistem pengairan mengharuskan adanya penambahan aparat pemerintahan . Sehingga dari sini berkembang sub model Imperial Birokratic.
b. Outer Teritory
n   Daerahnya tidak subur              
n  Penduduk miskin
n  Sistem pengairan hanya mengandalkan hujan
n  Oleh karenanya birokrasi tidak berkembang.
n  Muncul sub model feodalistic, dimana pada model ini daerah
biasanya dikuasai oleh raja-raja kecil
SAN INDUSTRIA, memiliki ciri-ciri:
n  sudah dikenal ketergantungan pada pasar.
n  Dalam arti bahwa apa yang diproduksi bukan untuk konsumsi sendiri tetapi juga dilempar ke pasar.
n  Sehingga pengadaan barang lebih banyak dan lebih kompleks sesuai dengan tingkat kebutuhan masyarakat industri yang lebih banyak diabnding kebutuhan masyarakat agraris.
n  Keadaan ini menimbulkan persaingan posar dan masyarakat dihadapkan pada pilihan
2 sub Model Industria:
a.  Sub model Demokratic, dimana penguasaan pemerintah atas pasar kecil
b.  Sub model Totalitarian, penguasaan pemerintah atas pasar besar.

4. Middle Range Theory Formulation : Model (4) sama dengan model (3), perbedaanya adalah:
o   Pada Model (3): faktor-faktor yang mempengaruhi mempunyai tingkat yang sama terhadap SAN
o   Pada Model (4): faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi, pengaruhnya tidak sama, hanya faktor politik yang berpengaruh terhadap SAN. Dengan kata lain faktor politik lebih dekat terhadap SAN. Jika terdapat faktor sosial ekonomi, harus lewat faktor politik.
·      Model (3) pada akhirnya menunjuk pada Equilibrium (keseimbangan) artinya jika politik berubah maka faktor-faktor yang lain juga turut berubah menuju keseimbangan.
     Masyarakat prismatik timbul karena pada realitanya sulit menemukan masyarakat yang murni agraria maupun industria, oleh karena itu Rigss menyebutnya sebagai masyarakat prismatik.
ü  3 alasan penting mengapa masyarakat prismatik muncul:
Karena dengan menggunakan model agraria dan industria, ciri-ciri yang terdapat pada masyarakat tersebut terlihat kabur.
Model agraria, pada saat sekarang ini sulit bisa ditemukan, karena itu model industri lebih banyak dipakai. Permasalahannya terdapat juga masyarakat yang tidak murni (benar-benar) berada pada bentuk masyarakat industri.
Sudah terlalu banyak kajian tentang masyarakat industri dan jarang sekali yang membahas tentang masyarakat antara (transisi).
Oleh Riggs yang bisa dimasukkan dalam masyarakat transisi adalah negara-negara yang masuk dalam negara sedang berkembang. Selanjutnya model SAN yang ada pada masyarakat prismatik ini disebut sebagai Model Sala.
Kata Sala lazim digunakan di negara-negara Asia  yang diartikan sebagai suatu kantor/paviliun/ tempat para tamu dipertemukan dalam upacara keagamaan
            Oleh Riggs, kata ”Sala” dianggap sebagai tipe ideal dari pola tingkah laku administrasi dalam masyarakat prismatik. Selanjutnya istilah Sala digunakan dalam banyak maksud yaitu sifat yang tidak berbeda bagi rumah atau instansi sebagai tempat kedudukan administrasi dalam suatu masyarakat yang menyatu (fused).
ü  Menurut Fred W. Riggs, masyarakat prismatik mempunyai tiga ciri utama.
1. Heteroginitas yakni perbedaan dan percampuran yang nyata antara sifat-sifat tradisional dan modern;
2. Formalisme menggambarkan adanya ketidaksesuaian dalam kadar yang cukup tinggi antara berbagai hal yang telah ditetapkan secara formal dengan praktek atau tindakan nyata di lapangan. Ketidaksesuaian antara norma-norma formal dengan realita;
3. Overlapping merupakan gambaran kelaziman adanya tindakan antara berbagai struktur formal yang dideferensiasikan dan dispesialisasikan dengan berbagai struktur informal yang belum dideferensiasikandan/dispesialisasikan.
 

KEBIJAKAN PUBLIK (Public Policy)

Kebijakan Publik (Inggris:Public Policy) adalah keputusan-keputusan yang mengikat bagi orang banyak pada tataran strategis atau bersifat garis besar yang dibuat oleh pemegang otoritas publik. Sebagai keputusan yang mengikat publik maka kebijakan publik haruslah dibuat oleh otoritas politik, yakni mereka yang menerima mandat dari publik atau orang banyak, umumnya melalui suatu proses pemilihan untuk bertindak atas nama rakyat banyak. Selanjutnya, kebijakan publik akan dilaksanakan oleh administrasi negara yang di jalankan oleh birokrasi pemerintah. Fokus utama kebijakan publik dalam negara modern adalah pelayanan publik, yang merupakan segala sesuatu yang bisa dilakukan oleh negara untuk mempertahankan atau meningkatkan kualitas kehidupan orang banyak. Menyeimbangkan peran negara yang mempunyai kewajiban menyediakan pelayan publik dengan hak untuk menarik pajak dan retribusi; dan pada sisi lain menyeimbangkan berbagai kelompok dalam masyarakat dengan berbagai kepentingan serta mencapai amanat konstitusi.

Setiap sistem politik pada dasarnya memproduksi kebijakan publik. Dan sistem politik itu bisa berupa negara, propinsi, kabupaten/kota, desa, bahkan RT dan RW. "Institusi" seperti ASEN, EU, PBB dan WTO adalah sistem politik juga, yang dapat disebut supra-negara.

Kebijakan publik tidak selalu dilakukan oleh birokrasi (saja), melainkan dapat pula dilaksanakan oleh perusahaan swasta, LSM ataupun masyarakat langsung. Misalnya, suatu sistem politik dapat memutuskan untuk memberantas nyamuk. Sistem politik itu dapat memerintah --tentu saja disertai kompensasi-- sebuah perusahaan swasta untuk melakukan penyemprotan nyamuk.

Terminologi
Terminologi kebijakan publik menunjuk pada serangkaian peralatan pelaksanaan yang lebih luas dari peraturan perundang-undangan, mencakup juga aspek anggaran dan struktur pelaksana. Siklus kebijakan publik sendiri bisa dikaitkan dengan pembuatan kebijakan, pelaksanaan kebijakan, dan evaluasi kebijakan. Bagaimana keterlibatan publik dalam setiap tahapan kebijakan bisa menjadi ukuran tentang tingkat kepatuhan negara kepada amanat rakyat yang berdaulat atasnya. Dapatkah publik mengetahui apa yang menjadi agenda kebijakan, yakni serangkaian persoalan yang ingin diselesaikan dan prioritasnya, dapatkah publik memberi masukan yang berpengaruh terhadap isi kebijakan publik yang akan dilahirkan. Begitu juga pada tahap pelaksanaan, dapatkah publik mengawasi penyimpangan pelaksanaan, juga apakah tersedia mekanisme kontrol publik, yakni proses yang memungkinkan keberatan publik atas suatu kebijakan dibicarakan dan berpengaruh secara signifikan. Kebijakan publik menunjuk pada keinginan penguasa atau pemerintah yang idealnya dalam masyarakat demokratis merupakan cerminan pendapat umum (opini publik). Untuk mewujudkan keinginan tersebut dan menjadikan kebijakan tersebut efektif, maka diperlukan sejumlah hal: pertama, adanya perangkat hukum berupa peraturan perundang-undangan sehingga dapat diketahui publik apa yang telah diputuskan; kedua, kebijakan ini juga harus jelas struktur pelaksana dan pembiayaannya; ketiga, diperlukan adanya kontrol publik, yakni mekanisme yang memungkinkan publik mengetahui apakah kebijakan ini dalam pelaksanaannya mengalami penyimpangan atau tidak. Dalam masyarakat autoriter kebijakan publik adalah keinginan penguasa semata, sehingga penjabaran di atas tidak berjalan. Tetapi dalam masyarakat demokratis, yang kerap menjadi persoalan adalah bagaimana menyerap opini publik dan membangun suatu kebijakan yang mendapat dukungan publik. Kemampuan para pemimpin politik untuk berkomunikasi dengan masyarakat untuk menampung keinginan mereka adalah satu hal, tetapi sama pentingnya adalah kemampuan para pemimpin untuk menjelaskan pada masyarakat kenapa suatu keinginan tidak bisa dipenuhi. Adalah naif untuk mengharapkan bahwa ada pemerintahan yang bisa memuaskan seluruh masyarakat setiap saat, tetapi adalah otoriter suatu pemerintahan yang tidak memperhatikan dengan sungguh-sungguh aspirasi dan berusaha mengkomunikasikan kebijakan yang berjalan maupun yang akan dijalankannya. dalam pendekatan yang lain kebijakan publik dapat dipahami dengan cara memilah dua konsepsi besarnya yakni kebijakan dan publik. terminologi kebijakan dapat diartikan sebagai pilihan tindakan diantara sejumlah alternatif yang tersedia. artinya kebijakan merupakan hasil menimbang untuk selanjutnya memilih yang terbaik dari pilihan-pilihan yang ada. dalam konteks makro hal ini kemudian diangkat dalam porsi pengambilan keputusan. Charles Lindblom adalah akademisi yang menyatakan bahwa kebijakan berkaitan erat dengan pengambilan keputusan. Karena pada hakikatnya sama-sama memilih diantara opsi yang tersedia. Sedangkan terminologi publik memperlihatkan keluasan yang luar biasa untuk didefinisikan. akan tetapi dalam hal ini setidaknya kita bisa mengatakan bahwa publik berkaitan erat dengan state, market dan civil society. merekalah yang kemudian menjadi aktor dalam arena publik. sehingga publik dapat dipahami sebagai sebuah ruang dimensi yang menampakan interaksi antar ketiga aktor tersebut.
Tahap-Tahap Kebijakan Publik
Kebijakan Publik secara keilmuan dapat dilaksanakan bertahap, yaitu:
1.    identifikasi permasalahan
2.    skala prioritas
3.    rancangan kebijakan
4.    pengesahan
5.    pelaksanaan/implementasi
6.    evaluasi / penilaian
Pelaksanaan Kebijakan Publik
Dalam pelaksanaannya, kebijakan publik ini harus diturunkan dalam serangkaian petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis yang berlaku internal dalam birokrasi. Sedangkan dari sisi masyarakat, yang penting adalah adanya suatu standar pelayanan publik, yang menjabarkan pada masyarakat apa pelayanan yang menjadi haknya, siapa yang bisa mendapatkannya, apa persyaratannnya, juga bagaimana bentuk layanan itu. Hal ini akan mengikat pemerintah (negara) sebagai pemberi layanan dan masyarakat sebagai penerima layanan. Fokus politik pada kebijakan publik mendekatkan kajian politik pada administrasi negara, karena satuan analisisnya adalah proses pengambilan keputusan sampai dengan evaluasi dan pengawasan termasuk pelaksanaannya. Dengan mengambil fokus ini tidak menutup kemungkinan untuk menjadikan kekuatan politik atau budaya politik sebagai variabel bebas dalam upaya menjelaskan kebijakan publik tertentu sebagai variabel terikat.
 

MAKALAH KEWARGANEGARAAN ANALISIS KASUS DEMOKRASI DI INDONESIA

KATA PENGANTAR
Segala  puji  dan  syukur  kami  panjatkan  kepada  Tuhan  Yang  Maha  Esa  atas kuasa  sehingga  penyusunan  makalah  ini  dapat  berjalan  dengan  baik  dan  lancar.  Kami juga berterimakasih kepada setiap pihak yang telah terlibat dan membantu kami dalam penyusunan makalah ini.
Makalah untuk Mata Kuliah Birokrasi dan Demokrasi kali ini mengangkat topik mengenai keterkaitan antara Pilkada Jawa Timur periode 2008-2013 dengan proses demokratisasi  lokal.  Dalam  kesempatan  ini  menganalisa  tentang  Pilkada  Jawa  Timur. Makalah ini kami susun sedemikian rupa dengan mencari dan menggabungkan sejumlah informasi yang kami dapatkan baik melalaui buku, media cetak, elektronik maupun media lainnya.  Kami  berharap  dengan  informasi  yang  kami  dapat  dan  kemudian  kami  sajikan ini dapat memberikan penjelasan yang cukup tentang Pilkada dalam hubungannya dengan demokratisasi lokal.
Demikian satu dua kata yang bisa kami sampaikan kepada seluruh pembaca makalah ini. Jika ada kesalahan baik dalam penulisan maupun kutipan, kami terlebih dahulu memohon maaf dan kami juga berharap semua pihak dapat memakluminya. Semoga semua pihak dapat menikmati dan mengambil esensi dari makalah ini. Trimakasih.

Tim Penyusun
 
DAFTAR ISI



HALAMAN JUDUL    1

KATA PENGANTAR    2

DAFTAR ISI    3

BAB I PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang    4

I.2 Identifikasi Masalah    5

I.3 Tujuan Penulisan    5

BAB II KERANGKA TEORI DAN GAMBARAN UMUM

II.1 Pemilihan Kepala Daerah    6

II.2 Demokratisasi Lokal    9

II.5 Gambaran Umum Pilkada di Jawa Timur    10

BAB III ANALISIS DAN PEMBAHASAN    15

BAB IV PENUTUP

IV.1 Kesimpulan    17

IV.2 Saran    17

DAFTAR PUSTAKA





BAB I PENDAHULUAN


I.1 Latar Belakang

Pemilihan  langsung  Kepala  Daerah  menjadi  consensus  politik  nasional1, yang merupakan salah satu instrument penting penyelenggaraan pemerintahan setelah digulirkannya otonomi daerah di Indonesia. Sedangkan Indonesia sendiri telah melaksanakan Pilkada secara langsung sejak diberlakukannya Undang-undang nomor
32 tahun 2004. tentang pemerintahan daerah. Hal ini apabila dilihat dari perspektif desentralisasi, Pilkada langsung tersebut merupakan sebuat terobosan baru yang bermakna bagi proses konsolidasi demokrasi di tingkat lokal. Pilkada langsung akan membuka ruang partisipasi yang lebih luas bagi masyarakat dalam proses demokrasi untuk menentukan kepemimpinan politik di tingkat lokal. System ini juga membuka peluang bagi masyarakat untuk mengaktualisasi hak-hak politiknya secara lebih baik tanpa  harus  direduksi  oleh  kepentingan-kepentingan  elite  politik,  seperti    ketika berlaku sistem demokrasi perwakilan.    Pilkada langsung juga memicu timbulnya figure pemimpin yang aspiratif, kompeten, legitimate, dan berdedikasi. Sudah barang tentu hal ini karena Kepala Daerah yang terpilih akan lebih berorientasi pada warga dibandingkan pada segelitir elite di DPRD.
Akan    tetapi    Pilkada    tidak    sepenuhnya    berjalan    mulus    seperti    yang diharapkan. Dapat kita lihat contohnya pada pilkada di Jawa Timur. Pelaksanaan Pilkada di Jawa Timur menjadi salah satu sejarah bagi proses demokratiasasi lokal di Indonesia. Proses pilkada pertama kali di Jawa Timur berlangsung dengan banyak masalah tetapi masalah tersebut tidak menyebabkan runtuhnya system pemerintahan dan politik lokal di Jawa Timur. Masalah tersebut justru diselesaikan melalui jalan hukum yang sah dan sesuai dengan hakikat demokrasi.
Pembahasan pemilihan Kepala Daerah Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati/

1 Eko Prasojo, Irfan Ridwan Maksum, dan Teguuh Kurniawan, Desentralisasi & Pemerintahan daerah: Antara Model Demokrasi Lokal & Efisiensi Struktural, 2006, hlm 40
 
Walikota dan Wakil Bupati/Walikota yang demokratis dan berkualitas, seharunya dikaitkan  tidak  dengan  pemahaman  akan  makna  demokrasi,  tetapi  juga  aspek normatif yang mengatur penyelenggaraan Pilkada dan aspek-aspek etika, sosial serta budaya2. Semua pihak-pihak yang ikut andil dalam pelaksanaan Pilkada, harus memahami dan melaksanakan seluruh peraturan perundangan yang berlaku secar konsisten. Pada dasarnya Pilkada langsung adalah memilih Kepala Daerah yang profesional, legitimate, dan demokratis, yang mampu mengemban amanat otonomi daerah dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Selayaknya Pilkada di Indonesia dilaksanakan dengan efektif dan tetap menjunjung tinggi asas demokrasi   dan   hukum.   Oleh   karena   itu,   kami   mencoba   untuk   menganalisa pelaksanaan pilkada di jawa Timur berdasarkan perspektif demokratisasi lokal yang sedang menjadi isu sentral dalam pelaksannaan otonomi daerah dan demokrasi di Indonesia. Dengan demikian dapat dianalisa proses demokratisasi lokal melalui pelaksanaan pilkada di Jawa Timur.


I.2 Identifikasi Masalah

1. Bagaimana pelaksanaan Pilkada di Jawa Timur?

2. Bagaimana   proses   pelaksanaan   Pilkada   di   Jawa   Timur   dalam   konteks konsolidasi demokrasi lokal?


I.3 Tujuan Penulisan
1.  Untuk mengetahui pelaksanaan Pilkada di Jawa Timur.
2.  Untuk mengetahui proses pelaksanaan Pilkada di Jawa Timur dalam konteks
konsolidasi demokrasi lokal.
 
2 materi Gubernur Jawa Tengah, sebagai pembicara pada seminar nasional calon independen dalam penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah, diunduh di http://docs.google.com, minggu 22 November
2009, pukul 14.05.

BAB II

KERANGKA TEORI DAN GAMBARAN UMUM

II.1 Pemilihan Kepala Daerah

Pemilu  Kepala  Daerah  dan  Wakil  Kepala  Daerah  adalah  Pemilu  untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 19453. Sebelum diberlakukannya undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Namun sejak Juni
2005 Indonesia menganut system pemilihan Kepala Daerah secara langsung.

Pada dasarnya daerah merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini berkaitan dengan pemilihan Kepala Daerah  dan  Wakil  Kepala  Daerah  yang  seharusnya  sinkron  dengan  pemilihan presiden dan wakil presiden, yaitu pemilihan secara langsung. Menurut Rozali Abdullah, beberapa alasan mengapa diharuskan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung4, adalah:

II.1.1. Mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat

Warga masyarakat di daerah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari  warga  masyarakat  Indonesia  secara  keseluruhan,  yang  mereka  juga berhak atas kedaulatan yang merupakan hak asasi mereka, yang hak tersebut dijamin dalam konstitusi kita Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Oleh karena itu, warga masyarakat di daerah, berdasarkan kedaulatan yang mereka punya, diberikan hak untuk menentukan nasib daerahnya masing-masing, antara lain dengan memilih Kepala Daerah secara langsung.

3 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, pasal 1 ayat 4.
4 Lihat: Rozali Abdullah, pelaksanaan Otonomi Luas dengan Pemilihan Kepala Derah secara
Langsung, PT Raja Grafindo, 2005, hlm 53-55

II.1.2. Legitimasi yang sama antar Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dengan DPRD
Sejak Pemilu legislatif 5 april 2004, anggota DPRD dipilih secara langsung oleh rakyat melalui sistem proporsional dengan daftar calon terbuka. Apabila Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah tetap dipilih oleh DPRD, bukan dipilih langsung oleh rakyat, maka tingkat legitimasi yang dimiliki DPRD jauh lebih tinggi dari tingkat legitimasi yang dimiliki oleh Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

II.1.3. Kedudukan yang sejajar antara Kepala Daerah dan wakil daerah dengan

DPRD

Pasal 16 (2) UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah menjelaskan bahwa DPRD, sebagai Badan Legislatif Daerah, berkedudukan sejajar dan menjadi mitra pemerintah daerah. Sementara itu, menurut Pasal 34 (1) UU No. 22 Tahun 1999 Kepala Daerah dipilih oleh DPRD  dan menurut pasal 32 ayat 2 jo pasal 32 ayat 3 UU No.22 Tahun 1999, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah bertanggung jawab kepada DPRD. Logikanya apabila Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah bertanggung jawab kepada DPRD maka kedudukan DPRD lebih tinggi daripada Kepala Daerah. Oleh karena itu, untuk memberikan mitra sejajar dan kedudukan sejajar antar Kepala Daerah dan DPRD maka keduanya harus sama-sama dipilih oleh rakyat.

II.1.4. UU No.22 Tahun 2003 tentang Susduk MPR, DPR, DPD, dan DPRD Dalam UU diatas, kewenangan DPRD untuk memilih Kepala Daerah
dan Wakil Kepala Daerah sudah dicabut.

II.1.5. Mencegah politik uang

Sering kita mendengar isu politik uang dalam proses pemilihan Kepala Daerah  dan  Wakil  Kepala  Daerah  oleh  DPRD.  Masalah  politik  uang  ini terjadi karena begitu besarnya wewenang yang dimiliki oleh DPRD dalam

proses pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Oleh karena itu, apabila dilakukan pemilihan Kepala Daerah secara langsung kemungkinan terjadinya politik uang bisa dicegah atau setidaknya dikurangi.

Undang-undang  nomor  22  tahun  2007  tentang  penyelenggara  pemilihan umum, mengamanatkan bahwa Pilkada dibawa kedalam ranah Pemilihan umum. Sehingga  secara  resmi  dinamakan  Pemilihan  Umum  Kepala  Daerah  dan  Wakil Kepala Daerah. Pilkada yang pertama kali diselenggarakan berdasarkan undang- undang ini adalah Pilkada DKI Jakarta. Pilkada diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota dengan diawasi oleh Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu) Provinsi dan Panwaslu Kabupaten/ Kota. Khusus di Nanggroe Aceh Darussalam, Pilkada diselenggarakan oleh Komisi Independen Pemilihan (KIP) dengan diawasi oleh Panitia Pengawas Pemilihan Aceh (Panwaslih Aceh).
Berdasarkan  Undang-Undang  Nomor  32  Tahun  2004  pasal  56,  peserta Pilkada  adalah pasangan calon yang  diusulkan oleh partai  politik atau  gabungan partai politik. Ketentuan ini diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 yang menyatakan bahwa peserta pilkada juga dapat berasal dari pasangan calon perseorangan    yang    didukung    oleh    sejumlah    orang.    Undang-undang    ini menindaklanjuti keputusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan beberapa pasal menyangkut peserta Pilkada dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Khusus di  Nanggroe  Aceh  Darussalam,  peserta  Pilkada  juga  dapat  diusulkan  oleh  partai politik lokal.
Pilkada langsung sebagai pengejawantahan dari demokratisasi lokal telah dilaksanakan di berbagai daerah di Indonesia. Banyak evaluasi dan dan analisa mengenai pelenggaraannya menyimpulkan suatu kondisi yang sama, yaitu    bahwa penyelengaraan    Pilkada    langsung    belum    sepenuhnya    berjalan    sesuai        yang diharapkan. Penerapan di lapangan masih menyisakan masalah yang mendasar. Pilkada langsung masih didominasi kelompok elitis tertentu melalui oligarki politik,

sehingga        pilkada      langsung    menjadi    proses    demokratisasi    semu5.    Partisipasi masyarakat lebih bersifat di mobilisasi. Hal ini sama halnya dengan proses politik sebagai suatu penguatan demokrasi lokal masih belum terjadi, justru konflik-konflik horizontal yang mengarah kepada anarkisme cenderung sering terjadi, yang disinyalir sebagai    akibat    dari    adanya    berbagai    kelemahan    dalam    tata      peraturan penyelenggaraannya, dan munculnya berbagai manipulasi dan kecurangan.
Menurut Silahuddin dkk, permasalahan – permasalahan yang timbul selama penyelenggaraan pilkada langsung, yaitu :
a.  Permasalahan kelembagaan pilkada langsung
Permasalahan  ini  berkaitan  erat  dengan  KPUD  sebagai  penyelenggara Pilkada, pengawas ( PANWAS ) serta dukungan pemerintah daerah selama pilkada berlangsung.
b.  Permasalahan dalam tahapan persiapan pilkada langsung
Permasalahan krusial yang kerap terjadi selama pilkada antara lain adalah sempitnya masa pemberitahuan dari DPRD kepada Kepala Daerah dan KPUD tentang masa berakhirnya masa jabatan Kepala Daerah, masalah pemantauan pilkada langsung, masalah sosialisasi.
c.  Permasalahan dalam tahapan pelaksanaan pilkada langsung
Lemahnya   pemutakhiran   data   pemilih,   mekanisme   pencalonan   Kepala Daerah  dan  Wakil  Kepala  Daerah,  pelanggaran  kampanye,  manajemen logistic pilkada, masalah money politic, masalah pendanaan dan pertanggung jawabannya, hal tersebut diatas merupakan masalah krusial pada tahapan pelaksanaan pilkada langsung


II.2 Demokratisasi Lokal

Demokratisasi lokal adalah implikasi dari desentralisasi yang dijalankan di daerah-daerah sebagai perwujudan dari proses demokrasi di Indonesia. Konsepnya mengandaikan pemerintahan itu dari, oleh dan untuk rakyat. Hal paling mendasar

5 Silahuddin, Edah Jubaedah, dan Wawan Dharma S, Evaluasi Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah
Langsung, 2007, hlm iii

dalam demokrasi adalah keikutsertaan rakyat, serta kesepakatan bersama atau konsensus untuk mencapai tujuan yang dirumuskan bersama. Perkembangan desentralisasi menuntut adanya proses demokrasi bukan hanya di tingkat regional tetapi di tingkat lokal.
Demokrasi di Indonesia pasca Orde Baru hampir selalu dibicarakan secara berkaitan        dengan    pembentukan        sistem     politik    yang    mencerminkan    prinsip keterwakilan,    partisipasi,    dan    kontrol.    Oleh    karenanya,        pemerintahan        yang demokratis mengandaikan pemisahan kekuasaan dalam tiga wilayah institusi yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif. Suatu pemerintahan dikatakan demokratis jika terdapat indikator utama yaitu keterwakilan, partisipasi dan kontrol terhadap penyelenggaraan pemerintahan oleh ketiga institusi tersebut. Prinsip partisipasi menjamin  aspek  keikutsertaan  rakyat  dalam  proses  perencanaan  pembangunan daerah;  atau  keikutsertaan  rakyat  dalam  proses  pemilihan  wakil  dalam  lembaga politik;    sedangkan        prinsip    kontrol    menekankan    pada    aspek    akuntabilitas pemerintahan. Dalam demokrasi, aspek kelembagaan merupakan keutamaan dari berlangsungnya praktik politik yang demokratis, sehingga, terdapat partai politik, pemilihan umum dan pers bebas. Sedangkan, istilah ‘ lokal’ mengacu kepada ‘arena’ tempat praktek demokrasi itu berlangsung.

II.3 Gambaran Umum Pilkada di Jawa Timur

II.3.1 Putaran Pertama

Pilkada Jawa Timur ditetapkan dilaksanakan pada 23 juli 2008, yang tepat jatuh pada hari rabu. Pilkada Jawa Timur diikuti oleh lima calon pasangan Cagub dan Cawagub. Pasangan dengan nomor urut satu adalah  Khofifah Indar Parawansa dan  Mudjiono  yang  didukung  oleh  12  parpol.  Pasangan  dengan  nomor  urut  dua adalah Sutjipto dan Ridwan Hisjam dari PDIP. Pasangan dengan nomor urut tiga adalah   Soenarjo  dan  Ali  Maschan  Moesa  dari  Partai  Golkar.  Pasangan  dengan nomor urut empat adalah Achmady dan Suhartono dari Partai Kebangkitan Bangsa. Pasangan yang terakhir adalah Soekarwo dan Saifullah Yusuf yang didukung oleh Partai  Demokrat,  PAN,  dan  PKS.  Pemilihan  Gubernur  Jawa  Timur  akan  diikuti

29.061.718 pemilih dan akan mencoblos di 32.756 Tempat Pemungutan Suara (TPS)

6. KPU juga menyiapkan 217 TPS khusus yang ditempatkan di terminal dan rumah sakit.
Hasil dari Pilkada Jatim putaran pertama (Data KPU Kota Mojokerto) diperoleh suara

sebagai berikut7:

1.    Khofifah dan  Mudjiono                   =    4.223.089    =    24,82%
2.    Sutjipto dan Ridwan                         =    3.605.106    =    21,19%
3.    Soenarjo dan Ali Maschan Moesa    =    3.290.448    =    19,34%
4.    Achmady dan Suhartono                  =    1.397.291    =    8,21%
5.    Soekarwo dan Saifullah Yusuf           =    4.498.332    =    26,44%
    JUMLAH     =    17.014.266    =    100 %

Berdasarkan  hasil  Pilkada  Jawa  Timur  putaran  pertama,  tidak  ada  calon yang memperoleh suara lebih dari 30% maka akan diadakan Pilkada Jawa Timur putaran kedua. Dengan demikian maka calon yang berhak ikut dalam Pilkada Jawa Timur putaran Kedua adalah pasangan nomor urut satu, Khofifah dan Mudjiono, dan pasangan dengan nomor urut lima, Soekarwo dan Saifullah Yusuf. Angka golput pada Pilkada Jawa timur putaran pertama sekitar 20-30%.


II.5.2 Putaran Kedua

Pilkada Jawa Timur putaran kedua yang diikuti oleh pasangan Khofifah - Mudjiono dan Soekarwo - Saifullah Yusuf, dilaksanakan pada 4 november 2008. Pada Pemilihan gubernur putaran kedua ini diikuti 29.280.470 pemilih yang terdiri atas 14.369.596 pemilih laki-laki dan 14.910.874 pemilih perempuan. Untuk lebih dari 29 juta pemilih itu disediakan 62.859 TPS, termasuk 216 TPS8.
Hasil perhitungan resmi pilgub jatim putaran II versi KPU9 adalah

•Pasangan Kaji (Khofifah I.P dan Mudjiono)    :    7.669.721 suara


7Diunduh dari  http://www.mojokerto.go.id, minggu tanggal 8 november 2009, pukul 13.00
8 Diunduh dari http://tekno.kompas.com, minggu tanggal 8 november 2009 pukul 13.20
9 Diunduh dari http://www.beritaindonesia.co.id, minggu tanggal 8 november 2009, pukul 13.45

•Pasangan Karsa (Soekarwo dan Syaifullah Yusuf )    :    7.729.944 suara

Dari  suara  sah  sebanyak  15.399.665,  terdapat  506.343  suara  tidak  sah. Dengan  hasil  itu,  pasangan  Karsa  unggul  tipis  60.233  suara  atau  0,40  persen dibanding pasangan Kaji. Dari hasil tersebut maka pasangan Soekarwo - Syaifullah Yusuf dinyatakan sebagai pemenang dalam Pilkada Jatim untuk periode 2008-2013, yang dilaksanakan dalam dua putaran. Namun, kubu dari pasangan Kaji menolak untuk menandatangani hasil dari Pilkada Jatim putaran kedua karena menilai terdapat banyak kecurangan yang terjadi didalamnya. Pelanggaran yang mereka catat selama proses coblosan ulang antara lain, daftar pemilih tetap (DPT) di Pamekasan, Bangkalan    dan    Sampang    berbeda    pada    putaran    pertama    lalu.    Menurut Khofifah "Banyak proses penghitungan yang tidak prosedural dan angkanya berubah dari KPPS (TPS) ke PPK (kecamatan). Bahkan ada formulir isian C-1 yang dicorat- coret  dan  di-tip  ex,  padahal  formulir  C-1  itu  merupakan  dokumen  negara," ujarnya. "Selain itu, ada penggelembungan surat suara dan jumlah TPS di wilayah Madura. Bahkan yang lebih tidak masuk akal, di sejumlah TPS di wilayah Madura, suara Ka-Ji dan golput (tidak mencoblos) nol. Ini kan aneh dan keterlaluan," tambah Khofifah10.
Pasangan    Khofifah    dan    Mudjiono    akhirnya    melaporkan    kecurangan- kecurangan  dalam  Pilkada  Jawa  Timur  ke  Mahkamah  Konstitusi.  Permohonan yang diajukan oleh pasangan tersebut, terdiri dari empat hal. Pertama, MK diminta menerima dan mengabulkan permohonan keberatan yang diajukan oleh pemohon untuk  seluruhnya.  Kedua,  pemohon  meminta  pembatalan  hasil  perhitungan  suara yang  ditetapkan  termohon  sesuai  dengan  keputusan  termohon  Nomor  20  tahun
2008 tertanggal 11 November 2008 tentang rekapitulasi hasil perhitungan pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Propinsi Jawa Timur tahun 2008 putaran kedua. Ketiga,  menetapkan  perhitungan  suara  hasil  Kepala  Daerah  Provinsi  Jawa Timur  adalah  sebagaimana  yang  diajukan  pemohon,  yaitu  pasangan  Jatim  No  1

10 Diunduh dari http://www.kapanlagi.com, minggu tanggal 8 november 2009, pukul 14.10

sejumlah 7.595.199 suara dan pasangan Jatim No 2 sejumlah 7.573.680 suara. Terakhir, menyatakan pasangan cagub/cawagub dengan nomor urut 1, Khofifah dan Mujiono sebagai pasangan terpilih dalam Pilkada Jatim 200811. Namun akhirnya Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa:
putusan Mahkamah Konstistusi (MK) No 41/PHPU-D-VI/2008 :

• Memerintahkan    KPUD    Jatim    agar    melakukan pemungutan    ulang di kabupaten Bangkalan dan Sampang, serta penghitungan di Pamekasan, paling lama 60 hari setelah amar putusan ini dengan mempertimbangkan kemampuan KPUD Jatim. Mengabulkan sebagian permohonan pemohon dan membatalkan keputusan KPUD Jatim sepanjang mengenai rekapitulasi suara di Kabupaten Pamekasaan, Bangkalan, dan Sampang

•    memerintahkan KPU dan Bawaslu untuk benar-benar mengawasi pemilihan ulang dan penghitungan suara ulang di tiga kabupaten terebut agar tercipta pemilu yang jujur dan adil. MK menilai, secara materil telah terjadi pelanggaran ketentuan pilkada yang berpengaruh terhadap perolehan suara.

Majelis Hakim diketuai oleh Mahfud MD, Maria Farida Indrati, Achmad Sodiki, Maruarar Siahaan, Arsyad Sanusi, Muhammad Alim, Mukti Fajar dan Akil Mochtar. Dengan  demikian  Mahkama  Konstitusi  memutuskan  adanya  Pemilihan  Kepala Daerah Jawa Timur Putaran kedua.


II.5.3 Putaran Ketiga (ulang)

Pada putaran ketiga ini, dilakukan pemungutan suara ulang di Kabupaten Bangkalan dan Sampang. Serta melakukan penghitungan ulang di Pamekasan. Dari hasil rekapitulasi suara yang digelar KPUD Jatim, pasangan KarSa dinyatakan memenangkan coblosan dan penghitungan ulang di Bangkalan, Sampang dan Pamekasan.
Di Bangkalan, pasangan Soekarwo-Saifullah Yusuf meraih suara sebanyak 253.981

, Sampang 210.052 suara, dan di Pamekasan 216.293 suara. Sedangkan Khofifah-


11 Diunduh dari www.mahkamahkonstitusi.go.id, minggu 8 november 2009 pukul 14.30
 

Mudjiono memperoleh suara di Bangkalan sebanyak 144.238, Sampang 146.036 dan

Pamekasan 195.117 suara.

Dari  hasil  coblosan  dan  penghitungan  ulang,  serta  ditambahkan  dengan  suara  di

36 kabupaten lainnya, KarSa tetap memenangi pilgub Jatim. Jumlah suara untuk

KarSa  sebanyak  7.660.861  atau  50,11  persen.  Ka-Ji  memperoleh  7.626.757  atau

49,89 persen. Sedangkan suara tidak sah sebanyak 508.78912. Dengan hasil ini kubu Khofifah tetap tidak puas dan mengajukan gugatan kembali ke Mahkamah Konstitusi, namun Mahkamah Konstitusi menolak gugatan dari Kubu Kaji karena menggangap kesalahan bukan berasal dari kubu lawan melainkan dari pihak penyelenggara.

12 Diunduh dari http://spirit-otonomi.com, minggu 8 november 2009 pukul 14.50
 
Bab III

ANALISIS DAN PEMBAHASAN



Adanya demokrasi ditingkat lokal sebagai akibat dari proses demokrasi regional yang dituntut oleh perkembangan desentralisasi. Demokrasi lokal memuat hal yang mendasar yaitu keikutsertaan rakyat serta kesepakatan bersama untuk mencapai tujuan yang dirumuskan bersama. Demokrasi lokal terwujud salah satunya dengan adanya Pilkada langsung dengan kata lain proses ini mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat. Hal ini senada dengan pelaksanaan Pilkada langsung yang diadakan di Jawa Timur.
Pelaksanaan Pilkada Jawa Timur periode 2008-2013 yang pada putaran pertama diikuti oleh lima calon pasangan gubernur dan wakil gubernur. Pada prosesnya telah sesuai dengan prinsip dasar demokrasi yaitu prinsip keterwakilan rakyat.  Hal  ini  ditunjukkan  dengan  kelima  calon  gubernur  dan  wakil  gubernur tersebut berasal dari unsur masyarakat Jawa Timur. Sedangkan partisipasi masyarakat sebagai pemilih berjumlah 29.061.718 Jiwa. Jumlah tersebut menandakan tingkat antusiasme  masyarakat  Jawa  Timur  dalam  proses  demokrasi.  Pilkada  langsung putaran pertama ini, dari kelima calon tersebut tidak ada yang melebihi batas ambang kemenangan 30% maka diadakan Pilkada putaran kedua yang diikuti oleh dua calon yang memperoleh suara terbanyak yaitu pasangan Khofifah-Mudjiono dan Soekarwo- Syaifullah Jusuf.
Pada  putaran  kedua  Pilkada  Jawa  Timur  dimenangkan  oleh  pasangan Soekarwo dan Syaefullah Jusuf dengan selisih 0,40% dari total suara. Terjadi permasalahan  disini,  pasangan  Khofifah  dan  Mudjiono  menolak  menandatangani hasil dari Pilkada pada putaran kedua karena menilai terdapat banyak kecurangan yang terjadi didalamnya kemudian pasangan tersebut melaporkan kecurangan yang terjadi kepada Mahkamah Konstitusi yaitu lembaga yang berhak menangani sengketa dalam Pemilu. Oleh Mahkamah Konstitusi diputuskan bahwa harus dilaksanakan Pilkada ulang di dua Kabupaten yaitu Bangkalan dan Sampang, serta penghitungan

ulang di Kabupaten Pamekasan. Proses ini merupakan sejarah bagi demokratisasi lokal di Indonesia dimana pengakuan atas hak maupun tuntutan benar-benar tidak diabaikan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yudikatif, dengan ini prinsip control dalam negara demokrasi telah terpenuhi.
Pilkada merupakan institusi demokrasi lokal yang penting karena dengan Pilkada, Kepala Daerah yang akan memimpin daerah dalam mencapai tujuan desentralisasi akan terpilih melalui tangan-tangan masyarakat lokal secara langsung. Sehingga untuk Pilkada DI Jawa Timur ini, layaklah disebut sebagai pilkada yang demokratis walaupun masih banyak kelemahan, kecurangan, dan kekurangan. Kepala Daerah terpilih (Soekarwo dan Syaifullah Yusuf ) inilah yang nantinya akan menjadi pemimpin dalam pembangunan di daerah termasuk di dalamnya penguatan demokrasi lokal, penyediaan pendidikan dasar dan layanan kesehatan, perbaikan kesejahteraan rakyat, penerapan prinsip tata pemerintahan yang baik dan lain sebagainya.

Nada pesimis dan pandangan negatif dari berbagai kalangan tentang pelaksanaan pilkada di Jawa Timur tidak meniadakan arti pentingnya institusi ini dalam konsolidasi demokrasi lokal di era desentralisasi. Bagi masyarakat lokal khususnya Jawa Timur yang terpenting adalah memilih Kepala Daerah yang dinilai mampu untuk memimpin daerah, dengan demikian sedikit banyak akan semakin memupuk dan memperkuat demokrasi lokal di Indonesia yang telah beranjak dewasa. Sekali lagi walaupun masih terjadi banyak kekurangan baik itu permasalahan kelembagaan, permasalahan dalam tahapan persiapan, maupun permasalahan dalam tahapan pelaksanaan.
 
BAB IV PENUTUP


IV.1. Kesimpulan

Pemilihan langsung Di Jawa Timur ini dapat memberikan popular mandat kepada calon terpilih, sehingga dapat memperkuat peran dan kedudukannya terhadap DPRD, atau dengan kata lain posisi Gubernur dengan DPRD Jawa Timur sejajar. Pilkada di Jawa Timur ini dapat mengurangi intervensi DPRD terhadapap gubernur dan agar “transaksi politik” yang melahirkan “money politics” dapat diminimalisasi. Sehingga Pilkada sebagai pengejawantahan dari demokratisasi local dapat berjalan dengan demokratis.

Dengan kata lain Pilkada di Jawa Timur ini adalah instrument untuk menguatkan tradisi demokrasi langsung di tingkat lokal. Bahwa penguatan demokrasi lokal ini juga akan memperkuat keterlibatan masyarakat Jawa Timur dalam perencanaan  dan  pengawasan  kebijakan  yang  merupakan  konsekuensi  logis  yang dapat terjadi. Tetapi demikian, pemilihan langsung ini tidak pula akan serta merta menghilangkan  praktek  praktek  kecurangan,  kelemahan,  dan  kekurangan  lainnya yang terjadi di banyak daerah di Jawa Timur.

IV.2. Saran


1. Pilkada  sedagai  pengejawantahan  dari  demokrasi  local  sudah  selayaknya dipersiapkan sematangnya oleh pemerintah daerah, KPUD, dan unsur terkait agar mereduksi permasalahan-permasalahan yang akan terjadi.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Rozali. Pelaksanaan Otonomi Luas dengan Pemilihan Kepala

Daerah secara Langsung. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2005.

Fatwa, A M. Otonomi Daerah dan Demokratisasi Bangsa. Jakarta: YARSIF WATAMPONE. 2002
Hardjito, Dydiet. Pemecahan masalah yang Analitik: Otonomi Daerah dalam

Kerangka NKRI. Jakarta: Premada Media. 2003.

Prasojo, eko. Irfan Ridwan Maksum, dan Teguh Kurniawan. Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah: Antara Model Demokrasi Lokal dan Efisiensi Struktural. Depok: DIA FISIP UI. 2006.
Prasojo, eko. Teguh Kurniawan, dan Defny Holidin. Reformasi dan Inovasi

Birokrasi; Studi di Kabupaten Sragen. Jakarta: YAPPKA. 2007.

Silahuddin, dkk. Evaluasi Penyelengaraan Pemilihan Kepala Daerah secara

Langsung. Bandung: PKP2A I- LAN. 2007.
Winasa, I Gede. Menterjemahkan Otonomi Daerah Tanpa Basa Basi. Bali: Komunitas Kertas Budaya Jembrana. 2004.