Majelis Permusyawaratan Rakyat
Kedudukan MPR. MPR Indonesia sesungguhnya dirancang ke aras 2 kamar tersebut (DPR dan DPD). Namun, melalui amandemen terakhir UUD 1945, MPR tetap menjadi badan tersendiri yang diatur konstitusi. Argumentasi Trikameral ini sebagai berikut :
1. Keberadaan Utusan Golongan telah dihapuskan sehingga prinsip keterwakilan fungsional (functional representation) di MPR menjadi tidak ada lagi. Sebab itu, anggota MPR hanya terdiri atas anggota DPR mewakili prinsip keterwakilan politik (political representation) dan DPD mewakili prinsip keterwakilan daerah (regional representation).
2. MPR tidak lagi berfungsi selaku “supreme body” yang punya kewenangan tertinggi dan tanpa kontrol. Sebelumnya, MPR fungsi-fungsi : (1) menetapkan UUD dan mengubah UUD; (2) menetapkan GBHN; (3) memilih Presiden dan Wakil Presiden; (4) meminta dan menilai pertanggungjawaban Presiden; (5) memberhentikan Presiden dan atau Wakil Presiden. Kini fungsi tersebut telah susut menjadi hanya : (1) menetapkan UUD dan atau Perubahan UUD; (2) melantik Presiden dan Wakil Presiden, dan (3) memberhentikan Presiden dan atau Wakil Presiden, dan (4) menetapkan Presiden dan atau Wakil Presiden Pengganti sampai terpilihnya Presiden dan atau Wakil Presiden.
3. Amandemen UUD 1945 menyuratkan kekuasaan membentuk Undang-undang Dasar ada di tangan DPR (bukan MPR lagi). Sebab itu, Indonesia kini menganut “separation of power” (pemisahan kekuasaan).
4. Dengan diterapkannya pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung, MPR tidak lagi punya kuasa memilih keduanya. Presiden dan Wakil Presiden tidak lagi bertanggung jawab kepada MPR melainkan langsung kepada rakyat.
Kendati begitu, ada beberapa peran vital yang diemban MPR. Misalnya, menurut ketentuan Pasal 2 ayat 1, MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD. Pasal 8 ayat 2 menyatakan dalam hal terjadi kekosongan wakil presiden, selambat-lambatnya 60 hari MPR bersidang untuk memilih wakil presiden dari 2 calon yang diusulkan Presiden. Selain itu, Pasal 8 ayat 3 menyebut, bahwa dalam hal terjadinya kekosongan presiden dan wakil presiden secara bersamaan, maka selambat-lambatnya dalam 30 hari MPR bersidang untuk memilih presiden dan wakil presiden dari 2 pasangan calon presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan Wapres-nya meraih suara yang terbanyak pertama dan kedua dalam pemilu sebelumnya.
Juga, Pasal 3 ayat 3, Pasal 7A dan Pasal 7B, MPR punya kewenangan mengubah dan menetapkan UUD sebagaimana dimaksud Pasal 3 ayat 1 dan Pasal 37 UUD 1945. Dengan argumentasi-argumentasi di atas, dapat dipahami bahwa MPR adalah lembaga yang berdiri sendiri di samping DPR dan DPD. Sebab itu, Indonesia dikenal menerapkan sistem perwakilan 3 kamar (trikameralisme).
Mengenai kecilnya peran MPR ini, Maswardi Rauf menulis bahwa sempat muncul pemikiran bahwa MPR itu tidak perlu dilembagakan. MPR tidak perlu berbentuk badan tersendiri sebab ia sekadar joint session dari persidangan-persidangan yang dilakukan DPR dan DPD. Lebih lanjut, Rauf menyatakan MPR sekadar punya 3 fungsi, yaitu : (1) Mengubah dan menetapkan UUD; (2) Melantik Presiden dan atau Wakil Presiden, dan (3) Memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden dalam masa jabatannya (tentu, setelah mendengar usulan DPR dan mekanisme lain di dalam UUD 1945).
Fungsi MPR yang pertama dan ketiga bukanlah fungsi yang rutin dilakukan (jarang). Fungsi melantik Presiden dan Wakil Presiden pun sekadar seremonial, karena MPR sekadar melakukan upacara. Perlu diingat, yang memilih Presiden dan Wakil Presiden bukan lagi MPR, tetapi rakyat secara langsung. Sebab itu, MPR tidak dapat menghambat jalannya pelantikan dengan kuorum kehadiran anggota mereka apalagi jumlah suara yang setuju/tidak setuju pelantikan tersebut.
MPR dalam Sejarah. Dalam perspektif historis, cikal bakal MPR kini adalah Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang beroperasi tahun 1945 hingga 1949. Saat itu, tata negara Indonesia belumlah semapan sekarang. Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945 menetapkan UUD 1945 sebagai konstitusi negara. Dalam masa itu belumlah ada struktur legislatif bernama MPR. Namun, dalam Aturan Peralihan UUD 1945 termaktub bahwa “sebelum MPR, DPR dan DPA dibentuk oleh UUD ini, segala kekuasaannya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah Komite Nasional.”
Tanggal 29 Agustus 1945 dibentuklah Komite Nasional Indonesia Pusat yang saat itu merupakan badan pembantu Presiden. Anggotanya terdiri atas pemuka-pemuka masyarakat dari berbagai golongan dan daerah, termasuk anggota PPKI. Susunan pimpinan KNIP ini adalah :
• Ketua : Mr. Kasman Singodimedjo
• Wakil : Mr. Sutardjo Kartohadikusuma
• Wakil : Mr. J. Latuharhary
• Wakil : Adam Malik
KNIP lalu mengusulkan pada eksekutif untuk menerbitkan Maklumat Wakil Presiden Nomor X/1945 pada tanggal 16 Oktober 1945. Isi dari maklumat tersebut adalah diserahinya tugas-tugas MPR dan DPR serta penetapan Garis Besar Haluan Negara kepada KNIP, sebelum badan-badan yang diperuntukkan untuk itu belum ada.
UUD Republik Indonesia Serikat dan UUDS 1950. Pada tahun 1949 hingga 1959 berlaku dua versi konstitusi berbeda: Undang-undang Dasar Republik Indonesia Serikat dan UUD Sementara. Di dalam 2 versi konstitusi tersebut, lembaga bernama MPR tidaklah dikenal. Pada masa ini pula, Indonesia menyelenggarakan Pemilu pertama tanggal 29 September 1955. Dalam Pemilu ini, rakyat secara langsung memilih anggota DPR dan Konstituante (badan penyusun undang-undang dasar).
Setelah terpilih, Konstituante segera bersidang menyusun UUD. Namun, di dalam Konstituante sendiri terjadi aneka perdebatan yang berujung pada ditemuinya “jalan buntu.” Untuk mengatasi itu, Presiden RI (Sukarno) segera mengeluarkan Dekrit tanggal 5 Juli 1959. Isi dekrit tersebut adalah : Pembubaran Konstituante; Berlakunya kembali UUD 1945 dan pembatalan UUDS 1950, serta pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) serta Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS). Upaya Presiden ini merupakan bentuk pengimplementasian pendirian struktur-struktur politik yang memang digariskan dalam UUD 1945.
MPRS. Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dibentuk berdasarkan Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 2 tahun 1959. Dasar hukumnya adalah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 itu. Isi dari Penpres tersebut adalah :
1. MPRS terdiri atas anggota DPR Gotong Royong ditambah utusan-utusan daerah dan golongan
2. Jumlah anggota MPR ditetapkan Presiden.
3. Yang dimaksud daerah dan golongan adalah Daerah Swatantra Tingkat I (setara provinsi) dan Golongan Karya (fungsional).
4. Anggota tambahan MPRS diangkat Presiden dan mengucap sumpah menurut agama di hadapat Presiden atau Ketua MPRS yang dikuasakan oleh Presiden.
5. MPRS punya ketua dan beberapa wakil ketua yang diangkat Presiden.
Jumlah anggota MPRS yang dibentuk kemudian, didasarkan pada Keputusan Presiden Nomor 199 tahun 1960, adalah 616 orang. Jumlah ini terdiri dari 257 Anggota DPR-GR, 241 Utusan Golongan Karya, dan 118 Utusan Daerah. Susunannya sebagai berikut :
• Ketua : Chairul Saleh
• Wakil : Mr. Ali Sastroamidjojo
• Wakil : K.H. Idham Chalid
• Wakil : Dipa Nusantara Aidit
• Wakil : Kolonel Wilujo Puspojudo
Dalam kelanjutannya, MPRS ini melakukan beberapa kali sidang. Sidang pertama diadakan 10 Nopember s/d 7 Desember 1960, yang menghasilkan dua keputusan berikut : (1) Ketetapan MPRS Nomor I/MPRS/1960 tentang Manifesto Politik Republik Indonesia sebagai Garis-garis Besar daripada Haluan Negara, dan; (2) Ketetapan MPRS Nomor II/MPRS/1960 tentang Garis-garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahapan Pertama 1961-1969.
Sidang kedua yang diadakan MPRS berlangsung tanggal 15 s/d 22 Mei 1963. Dalam sidang kedua ini dicapat 2 ketetapan berikut : (1) Ketetapan MPRS Nomor III/MPRS/1963 tentang Pengangkatan Pemimpin Besar Revolusi Indonesia Bung Karno menjadi Presiden Republik Indonesia Seumur Hidup, dan; (2) Ketetapan MPRS Nomor IV/MPRS/1963 tentang Pedoman-pedoman Pelaksanaan Garis-garis Besar Haluan Negara dan Haluan Pembangunan.
Sidang ketiga yang diadakan MPRS terjadi pada tanggal 11 s/d 16 April 1965. Sidang ini menghasilkan ketetapan-ketetapan berikut : (1) Ketetapan MPRS Nomor V/MPRS/1965 tentang Amanat Politik Presiden/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPRS yang berjudul Berdiri di Atas Kaki Sendiri yang lebih dikenal dengan “Berdikari” sebagai Penugasan Revolusi Indonesia dalam Bidang Politik, Pedoman Pelaksanaan Manipol dan Landasan Program Perjuangan Rakyat Indonesia; (2) Ketetapan MPRS Nomor VI/MPRS/1965 tentang Banting Stir untuk Berdiri di Atas Kaki Sendiri di Bidang Ekonomi dan Pembangunan; (3) Ketetapan MPRS Nomor VII/MPRS/1965 tentang “Gesuri”, “TAVIP” (Tahun Vivere Pericoloso), “The Fifth Freedom is Our Weapon” dan “The Era of Confrontation” sebagai Pedoman-pedoman Pelaksanaan Manifesto Politik Republik Indonesia, dan; (4) Ketetapan MPRS Nomor VIII/MPRS/1965 tentang Prinsip-prinsip Musyawarah untuk Mufakat dalam Demokrasi Terpimpin sebagai Pedoman bagi Lembaga-lembaga Permusyawaratan/Perwakilan.
Pada periode 1966 hingga 1972, periode setelah Presiden Sukarno tidak lagi menjabat presiden, terciptalah susunan pimpinan MPRS sebagai berikut :
1. Ketua : Dr. A.H. Nasution
2. Wakil : Osa Maliki
3. Wakil : H.M. Subchan Z.E.
4. Wakil : M. Siregar
5. Wakil : Mashudi
Struktur baru MPRS ini mengadakan Sidang Umum keempat MPRS di Istora Senayan Jakarta tanggal 21 Juni hingga 5 Juli 1966. Sidang umum ini menghasilkan sangat banyak ketetapan, yang totalnya berjumlah 24. Dalam Sidang Umum keempat ini juga diadakan Sidang Istimewa MPRS untuk mendengar Pidato Pertanggungjawaban Presiden Sukarno dalam pidatonya yang dikenal sebagai Nawaksara.
MPRS tidak puas dengan pidato pertanggungjawaban tersebut, dan Presiden Sukarno lalu melengkapinya pada tanggal 10 Januari 1967 dengan suratnya berjudul “Pelengkap Nawaksara.” Namun, tetap saja ini tidak memuaskan MPRS. MPRS sebab itu mengambil kesimpulan bahwa Presiden tidak memenuhi kewajiban konstitusional.
Di sisi lain, DPR-GR mengusulkan pada MPRS untuk mengadakan kembali Sidang Istimewa untuk memberhentikan Presiden Sukarno dan mengangkat Letjen Suharto sebagai Pejabat Presiden/Mandataris sesuai Pasal 3 Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966, serta memerintahkan Badan Kehakiman untuk mengadakan pengamatan, pemeriksaan, dan penuntutan secara hukum. Sidang Istimewa akhirnya digelar MPR tanggal 7 hingga 12 Maret 1967.
Pada tahun 1971, Indonesia mengadakan Pemilu yang pertama. Dari Pemilu tersebut dihasilkan Susunan pimpinan MPR (tidak pakai sementara lagi). Susunan keanggotaan MPR ini didasarkan pada Undang-undang No.16 tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan MPR. Menurut UU tersebut, jumlah anggota MPR adalah 920 orang, dengan komposisi berikut :
• Fraksi ABRI : 230 orang
• Fraksi Karya Pembangunan : 392 orang
• Fraksi PDI : 42 orang
• Fraksi Persatuan Pembangunan : 126 orang
• Fraksi Utusan Daerah : 130 orang
Pola MPR seperti di atas konsisten selama periode Orde Baru hingga 1998. Posisi MPR, dalam sidang 5 tahunannya melakukan hal-hal rutin seperti mengangkat Suharto sebagai presiden, dan menentapkan GBHN yang draf-nya sudah ditentukan oleh pemerintah. Kondisi ini sedikit berubah pasca transisi politik Indonesia 1998.
Pasca 1998. Pasca 1998, MPR mengalami perubahan sesuai perubahan politik yang terjadi di Indonesia. Perubahan ini tampak dari berubahnya fraksi-fraksi yang dihasilkan antar periode Pemilu.
Dalam periode 1999 – 2004, jumlah Fraksi yang ada di MPR terdiri atas 9 Fraksi dan 1 NonFraksi. Fraksi-fraksi yang ada adalah Fraksi Partai Bulan Bintang (14 orang), Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (305 orang); Fraksi Partai Demokrasi Kasih Bangsa (5 orang); Fraksi Partai Daulah Ummat (8 orang); Fraksi Partai Golongan Karya (297 orang); Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (109 orang); Fraksi PPP (123 orang); Fraksi Reformasi (46 orang); Fraksi TNI/Polri (96 orang); dan nonFraksi 1 orang yaitu Drs. Dr. Muhammad Ali, SH., Dip. Ed., M.Sc.
Pasca pemilu 2004, tercipta formasi baru Fraksi MPR yang terdiri atas 8 Fraksi dan 1 Kelompok Dewan Perwakilan Daerah. Fraksi-fraksi tersebut adalah Fraksi Partai Golongan Karya (PKPB dan PBR bergabung ke sini); Fraksi Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDS bergabung ke sini); Fraksi Partai Persatuan Pembangunan; Fraksi Partai Demokrat (gabunga 5 parpol dengan 20 kursi); Fraksi Partai Amanat Nasional, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa; Fraksi Partai Keadilan Sejahtera; Fraksi Partai Bintang Pelopor Demokrasi (gabungan PBB, PP, PNI-Marhaenisme, PKPI, PPDK, dan PPDI), serta Kelompok Dewan Perwakilan Daerah (132 orang).
Kedudukan MPR. MPR Indonesia sesungguhnya dirancang ke aras 2 kamar tersebut (DPR dan DPD). Namun, melalui amandemen terakhir UUD 1945, MPR tetap menjadi badan tersendiri yang diatur konstitusi. Argumentasi Trikameral ini sebagai berikut :
1. Keberadaan Utusan Golongan telah dihapuskan sehingga prinsip keterwakilan fungsional (functional representation) di MPR menjadi tidak ada lagi. Sebab itu, anggota MPR hanya terdiri atas anggota DPR mewakili prinsip keterwakilan politik (political representation) dan DPD mewakili prinsip keterwakilan daerah (regional representation).
2. MPR tidak lagi berfungsi selaku “supreme body” yang punya kewenangan tertinggi dan tanpa kontrol. Sebelumnya, MPR fungsi-fungsi : (1) menetapkan UUD dan mengubah UUD; (2) menetapkan GBHN; (3) memilih Presiden dan Wakil Presiden; (4) meminta dan menilai pertanggungjawaban Presiden; (5) memberhentikan Presiden dan atau Wakil Presiden. Kini fungsi tersebut telah susut menjadi hanya : (1) menetapkan UUD dan atau Perubahan UUD; (2) melantik Presiden dan Wakil Presiden, dan (3) memberhentikan Presiden dan atau Wakil Presiden, dan (4) menetapkan Presiden dan atau Wakil Presiden Pengganti sampai terpilihnya Presiden dan atau Wakil Presiden.
3. Amandemen UUD 1945 menyuratkan kekuasaan membentuk Undang-undang Dasar ada di tangan DPR (bukan MPR lagi). Sebab itu, Indonesia kini menganut “separation of power” (pemisahan kekuasaan).
4. Dengan diterapkannya pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung, MPR tidak lagi punya kuasa memilih keduanya. Presiden dan Wakil Presiden tidak lagi bertanggung jawab kepada MPR melainkan langsung kepada rakyat.
Kendati begitu, ada beberapa peran vital yang diemban MPR. Misalnya, menurut ketentuan Pasal 2 ayat 1, MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD. Pasal 8 ayat 2 menyatakan dalam hal terjadi kekosongan wakil presiden, selambat-lambatnya 60 hari MPR bersidang untuk memilih wakil presiden dari 2 calon yang diusulkan Presiden. Selain itu, Pasal 8 ayat 3 menyebut, bahwa dalam hal terjadinya kekosongan presiden dan wakil presiden secara bersamaan, maka selambat-lambatnya dalam 30 hari MPR bersidang untuk memilih presiden dan wakil presiden dari 2 pasangan calon presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan Wapres-nya meraih suara yang terbanyak pertama dan kedua dalam pemilu sebelumnya.
Juga, Pasal 3 ayat 3, Pasal 7A dan Pasal 7B, MPR punya kewenangan mengubah dan menetapkan UUD sebagaimana dimaksud Pasal 3 ayat 1 dan Pasal 37 UUD 1945. Dengan argumentasi-argumentasi di atas, dapat dipahami bahwa MPR adalah lembaga yang berdiri sendiri di samping DPR dan DPD. Sebab itu, Indonesia dikenal menerapkan sistem perwakilan 3 kamar (trikameralisme).
Mengenai kecilnya peran MPR ini, Maswardi Rauf menulis bahwa sempat muncul pemikiran bahwa MPR itu tidak perlu dilembagakan. MPR tidak perlu berbentuk badan tersendiri sebab ia sekadar joint session dari persidangan-persidangan yang dilakukan DPR dan DPD. Lebih lanjut, Rauf menyatakan MPR sekadar punya 3 fungsi, yaitu : (1) Mengubah dan menetapkan UUD; (2) Melantik Presiden dan atau Wakil Presiden, dan (3) Memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden dalam masa jabatannya (tentu, setelah mendengar usulan DPR dan mekanisme lain di dalam UUD 1945).
Fungsi MPR yang pertama dan ketiga bukanlah fungsi yang rutin dilakukan (jarang). Fungsi melantik Presiden dan Wakil Presiden pun sekadar seremonial, karena MPR sekadar melakukan upacara. Perlu diingat, yang memilih Presiden dan Wakil Presiden bukan lagi MPR, tetapi rakyat secara langsung. Sebab itu, MPR tidak dapat menghambat jalannya pelantikan dengan kuorum kehadiran anggota mereka apalagi jumlah suara yang setuju/tidak setuju pelantikan tersebut.
MPR dalam Sejarah. Dalam perspektif historis, cikal bakal MPR kini adalah Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang beroperasi tahun 1945 hingga 1949. Saat itu, tata negara Indonesia belumlah semapan sekarang. Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945 menetapkan UUD 1945 sebagai konstitusi negara. Dalam masa itu belumlah ada struktur legislatif bernama MPR. Namun, dalam Aturan Peralihan UUD 1945 termaktub bahwa “sebelum MPR, DPR dan DPA dibentuk oleh UUD ini, segala kekuasaannya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah Komite Nasional.”
Tanggal 29 Agustus 1945 dibentuklah Komite Nasional Indonesia Pusat yang saat itu merupakan badan pembantu Presiden. Anggotanya terdiri atas pemuka-pemuka masyarakat dari berbagai golongan dan daerah, termasuk anggota PPKI. Susunan pimpinan KNIP ini adalah :
• Ketua : Mr. Kasman Singodimedjo
• Wakil : Mr. Sutardjo Kartohadikusuma
• Wakil : Mr. J. Latuharhary
• Wakil : Adam Malik
KNIP lalu mengusulkan pada eksekutif untuk menerbitkan Maklumat Wakil Presiden Nomor X/1945 pada tanggal 16 Oktober 1945. Isi dari maklumat tersebut adalah diserahinya tugas-tugas MPR dan DPR serta penetapan Garis Besar Haluan Negara kepada KNIP, sebelum badan-badan yang diperuntukkan untuk itu belum ada.
UUD Republik Indonesia Serikat dan UUDS 1950. Pada tahun 1949 hingga 1959 berlaku dua versi konstitusi berbeda: Undang-undang Dasar Republik Indonesia Serikat dan UUD Sementara. Di dalam 2 versi konstitusi tersebut, lembaga bernama MPR tidaklah dikenal. Pada masa ini pula, Indonesia menyelenggarakan Pemilu pertama tanggal 29 September 1955. Dalam Pemilu ini, rakyat secara langsung memilih anggota DPR dan Konstituante (badan penyusun undang-undang dasar).
Setelah terpilih, Konstituante segera bersidang menyusun UUD. Namun, di dalam Konstituante sendiri terjadi aneka perdebatan yang berujung pada ditemuinya “jalan buntu.” Untuk mengatasi itu, Presiden RI (Sukarno) segera mengeluarkan Dekrit tanggal 5 Juli 1959. Isi dekrit tersebut adalah : Pembubaran Konstituante; Berlakunya kembali UUD 1945 dan pembatalan UUDS 1950, serta pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) serta Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS). Upaya Presiden ini merupakan bentuk pengimplementasian pendirian struktur-struktur politik yang memang digariskan dalam UUD 1945.
MPRS. Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dibentuk berdasarkan Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 2 tahun 1959. Dasar hukumnya adalah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 itu. Isi dari Penpres tersebut adalah :
1. MPRS terdiri atas anggota DPR Gotong Royong ditambah utusan-utusan daerah dan golongan
2. Jumlah anggota MPR ditetapkan Presiden.
3. Yang dimaksud daerah dan golongan adalah Daerah Swatantra Tingkat I (setara provinsi) dan Golongan Karya (fungsional).
4. Anggota tambahan MPRS diangkat Presiden dan mengucap sumpah menurut agama di hadapat Presiden atau Ketua MPRS yang dikuasakan oleh Presiden.
5. MPRS punya ketua dan beberapa wakil ketua yang diangkat Presiden.
Jumlah anggota MPRS yang dibentuk kemudian, didasarkan pada Keputusan Presiden Nomor 199 tahun 1960, adalah 616 orang. Jumlah ini terdiri dari 257 Anggota DPR-GR, 241 Utusan Golongan Karya, dan 118 Utusan Daerah. Susunannya sebagai berikut :
• Ketua : Chairul Saleh
• Wakil : Mr. Ali Sastroamidjojo
• Wakil : K.H. Idham Chalid
• Wakil : Dipa Nusantara Aidit
• Wakil : Kolonel Wilujo Puspojudo
Dalam kelanjutannya, MPRS ini melakukan beberapa kali sidang. Sidang pertama diadakan 10 Nopember s/d 7 Desember 1960, yang menghasilkan dua keputusan berikut : (1) Ketetapan MPRS Nomor I/MPRS/1960 tentang Manifesto Politik Republik Indonesia sebagai Garis-garis Besar daripada Haluan Negara, dan; (2) Ketetapan MPRS Nomor II/MPRS/1960 tentang Garis-garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahapan Pertama 1961-1969.
Sidang kedua yang diadakan MPRS berlangsung tanggal 15 s/d 22 Mei 1963. Dalam sidang kedua ini dicapat 2 ketetapan berikut : (1) Ketetapan MPRS Nomor III/MPRS/1963 tentang Pengangkatan Pemimpin Besar Revolusi Indonesia Bung Karno menjadi Presiden Republik Indonesia Seumur Hidup, dan; (2) Ketetapan MPRS Nomor IV/MPRS/1963 tentang Pedoman-pedoman Pelaksanaan Garis-garis Besar Haluan Negara dan Haluan Pembangunan.
Sidang ketiga yang diadakan MPRS terjadi pada tanggal 11 s/d 16 April 1965. Sidang ini menghasilkan ketetapan-ketetapan berikut : (1) Ketetapan MPRS Nomor V/MPRS/1965 tentang Amanat Politik Presiden/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPRS yang berjudul Berdiri di Atas Kaki Sendiri yang lebih dikenal dengan “Berdikari” sebagai Penugasan Revolusi Indonesia dalam Bidang Politik, Pedoman Pelaksanaan Manipol dan Landasan Program Perjuangan Rakyat Indonesia; (2) Ketetapan MPRS Nomor VI/MPRS/1965 tentang Banting Stir untuk Berdiri di Atas Kaki Sendiri di Bidang Ekonomi dan Pembangunan; (3) Ketetapan MPRS Nomor VII/MPRS/1965 tentang “Gesuri”, “TAVIP” (Tahun Vivere Pericoloso), “The Fifth Freedom is Our Weapon” dan “The Era of Confrontation” sebagai Pedoman-pedoman Pelaksanaan Manifesto Politik Republik Indonesia, dan; (4) Ketetapan MPRS Nomor VIII/MPRS/1965 tentang Prinsip-prinsip Musyawarah untuk Mufakat dalam Demokrasi Terpimpin sebagai Pedoman bagi Lembaga-lembaga Permusyawaratan/Perwakilan.
Pada periode 1966 hingga 1972, periode setelah Presiden Sukarno tidak lagi menjabat presiden, terciptalah susunan pimpinan MPRS sebagai berikut :
1. Ketua : Dr. A.H. Nasution
2. Wakil : Osa Maliki
3. Wakil : H.M. Subchan Z.E.
4. Wakil : M. Siregar
5. Wakil : Mashudi
Struktur baru MPRS ini mengadakan Sidang Umum keempat MPRS di Istora Senayan Jakarta tanggal 21 Juni hingga 5 Juli 1966. Sidang umum ini menghasilkan sangat banyak ketetapan, yang totalnya berjumlah 24. Dalam Sidang Umum keempat ini juga diadakan Sidang Istimewa MPRS untuk mendengar Pidato Pertanggungjawaban Presiden Sukarno dalam pidatonya yang dikenal sebagai Nawaksara.
MPRS tidak puas dengan pidato pertanggungjawaban tersebut, dan Presiden Sukarno lalu melengkapinya pada tanggal 10 Januari 1967 dengan suratnya berjudul “Pelengkap Nawaksara.” Namun, tetap saja ini tidak memuaskan MPRS. MPRS sebab itu mengambil kesimpulan bahwa Presiden tidak memenuhi kewajiban konstitusional.
Di sisi lain, DPR-GR mengusulkan pada MPRS untuk mengadakan kembali Sidang Istimewa untuk memberhentikan Presiden Sukarno dan mengangkat Letjen Suharto sebagai Pejabat Presiden/Mandataris sesuai Pasal 3 Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966, serta memerintahkan Badan Kehakiman untuk mengadakan pengamatan, pemeriksaan, dan penuntutan secara hukum. Sidang Istimewa akhirnya digelar MPR tanggal 7 hingga 12 Maret 1967.
Pada tahun 1971, Indonesia mengadakan Pemilu yang pertama. Dari Pemilu tersebut dihasilkan Susunan pimpinan MPR (tidak pakai sementara lagi). Susunan keanggotaan MPR ini didasarkan pada Undang-undang No.16 tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan MPR. Menurut UU tersebut, jumlah anggota MPR adalah 920 orang, dengan komposisi berikut :
• Fraksi ABRI : 230 orang
• Fraksi Karya Pembangunan : 392 orang
• Fraksi PDI : 42 orang
• Fraksi Persatuan Pembangunan : 126 orang
• Fraksi Utusan Daerah : 130 orang
Pola MPR seperti di atas konsisten selama periode Orde Baru hingga 1998. Posisi MPR, dalam sidang 5 tahunannya melakukan hal-hal rutin seperti mengangkat Suharto sebagai presiden, dan menentapkan GBHN yang draf-nya sudah ditentukan oleh pemerintah. Kondisi ini sedikit berubah pasca transisi politik Indonesia 1998.
Pasca 1998. Pasca 1998, MPR mengalami perubahan sesuai perubahan politik yang terjadi di Indonesia. Perubahan ini tampak dari berubahnya fraksi-fraksi yang dihasilkan antar periode Pemilu.
Dalam periode 1999 – 2004, jumlah Fraksi yang ada di MPR terdiri atas 9 Fraksi dan 1 NonFraksi. Fraksi-fraksi yang ada adalah Fraksi Partai Bulan Bintang (14 orang), Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (305 orang); Fraksi Partai Demokrasi Kasih Bangsa (5 orang); Fraksi Partai Daulah Ummat (8 orang); Fraksi Partai Golongan Karya (297 orang); Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (109 orang); Fraksi PPP (123 orang); Fraksi Reformasi (46 orang); Fraksi TNI/Polri (96 orang); dan nonFraksi 1 orang yaitu Drs. Dr. Muhammad Ali, SH., Dip. Ed., M.Sc.
Pasca pemilu 2004, tercipta formasi baru Fraksi MPR yang terdiri atas 8 Fraksi dan 1 Kelompok Dewan Perwakilan Daerah. Fraksi-fraksi tersebut adalah Fraksi Partai Golongan Karya (PKPB dan PBR bergabung ke sini); Fraksi Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDS bergabung ke sini); Fraksi Partai Persatuan Pembangunan; Fraksi Partai Demokrat (gabunga 5 parpol dengan 20 kursi); Fraksi Partai Amanat Nasional, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa; Fraksi Partai Keadilan Sejahtera; Fraksi Partai Bintang Pelopor Demokrasi (gabungan PBB, PP, PNI-Marhaenisme, PKPI, PPDK, dan PPDI), serta Kelompok Dewan Perwakilan Daerah (132 orang).
0 komentar:
Posting Komentar