Negara Indonesia adalah sebuah Negara yang majemuk dan berbagai mancam system sosial. Dengan sikap kemajemukan ini menimbulkan berbagai macam system social, yang menelurkan sikap kebinekaan di dalam keanekaragaman. Hal ini sangat mencirikan bangsa Indonesia dengan sikap kemajemukannya serta sikap prulisme di masyarakat, menurut Adam Kuper dan Jessica Kuper menjelaskan bahwa istilah majemuk telah digunakan untuk menjelaskan masyarakat yang ditandai dengan pembelahan (cleavages) internal berdasarkan etnis, ras, agama atau bahasa. Dengan kata lain Negara kita cenderung memiliki sikap lebi fleksibel dalam menerima perbedaan, berbeda dengan Negara yang memiliki fragmentasi ekstrim yang cenderung tidak fleksibel dalam menilai sikap ke majemukan.
Menurut penilaian sudut pandang sejarah, sebagian negara-negara yang terfragmentasi secara ekstrim sering ditandai oleh gejalah sejarah masa lalu penjajahan oleleh bangsa luar secara kejam, yang dibuntuti oleh penguasaan kolonializem, perbudakan dan kerja paksa serta bentuk-bentuk segmentasi dan ketimpangan yang sangat terlembaga antara kelompok-kelompok etnis atau ras. Hail tersebut merupakan peroses pembentukan dari proses awal untuk meninggalkan jejak segmentasi dan kepluralan horizontal dan vertikal pada bentuk masyarakat tersebut setelahnya dengan berbagai implikasi secara sosial, budaya dan politik.
Dengan menelaah sejarah di indonesa yang pada awal berdirinya tidak lepas dari konflik dan integrasi Indonesia dalam berbangsa dan bernegara tidak dapat terlepas dari pengaruhi dan potensi kemajemukannya yang luar biasa. Potensi kemajemukan dan perbedaan secara positif diakui sebagai suatu kekayaan khasanah budaya, namun juga menyimpan potensi konflik dan disintegrasi. Yang tidak lain dan tidak bukan di timbulkan oleh kemajemukan dan bermacam-macamnya khasanah budaya.
Namun dalam hal ini seringkali Negara demikian memiliki bom waktu yang setiap saat siap meledak, konflik merupakan bom waktu yang siap meledak di Negara yang terbentuk dari proses perlawanan terhadap penjajajahan kepentingan golongan dan sebagean komunitas ialah salah satu pemicunya. Dalam hal ini setiap tempat memiliki tingkat differensiasi factor yang menyebabkan terjadinya konflik social, sebagai permisalan wilayah kota dan pedesaan jelas mimiliki tingakat penyulut konflik social yang berbeda. Sementara itu sikap ke binekaan dan pluralisme hanyalah sebuah teori yang terbantahkan oleh sebuah kenyataan di lapangan. Kita pun sering kali terpesona akan anggapan bahwa setiap konflik social akan dapat di pecahkan oleh semangat gotong royong dan sikap kebhinekaan namun semua itu kembali lagi hanyalah teori.
Dalam sebuah konflik berbagai macam pendekatan sering kali di gunakan untuk memecahkan atau untuk mengetahui dari mana konflik itu dan apa penyebab konflik itu, yang sering kali dianggap konflik adalah bagian dari system masyarakat yang lumrah adanya serta seringkali dianggap sebagai bagian perubahan dari masyarakat, tanpa pengupayaan atao tindakan realistis dri pelaku tersebut maka permasalahnhanya hanya akan berakhir dimuara dan tidak terselesaikan secara keseruluhan, pembiayaran ini di takutkan akan memperparah sebuah koflik dan memepersulit terselesaikannya sebuah konflik.
Beda halnya apabila kelompok ataupun individu yang bertikai ini menyadari bahwa mereka berada dalam konflik, mengupayakan pengusutan secara mendalam melalui pihak ketiga (netral) dan menaati peraturan, maka saya rasa sebuah konflik akan dapat diminimalisasi bahkan di akhiri. Tanpa semua itu, lembaga diskusi macam apapun tidak akan berjalan dengan baik, justru akan menimbulkan konflik. Cara pengendalian yang efekti adalah dengan mediasi ( mediation ), dimana kedua belah pihak sepakat untuk menunjuk pihak ketiga sebagai penengah, yang akan memberi nasihat tentang bagaimana seharusnya mereka bertindak. Walaupun nasihat tersebut tidak mengikat kedua belah pihak, namun cara ini terkadang sering menghasilkan penyelesaian yang cukup efektif. Apabila tidak berhasil,kita dapat menggunakan cara yang lain. Yaitu dengan perwasitan ( arbitration ), dalam hal ini pihak yang bertikai terpaksa harus menerima keputusan dari pihak ketiga. Tetapi meraka berhak untuk mengajukan usulan, kendati mereka mau-tidak mau harus menerima keputusan pihak ketiga.
KRITIK:
penggunaaan bahasa dan penyusunan kalimat yang meminmbungunkan, sehingga pemahaman akan konsep yang di tawarkan menjadi sulit di pahami dan mengena, hal ini akan berbeda apa bila dalam penulisanya lebih menngunakan bahasa universal yang mudah di padami semua kalangan.
KRITIK:
penggunaaan bahasa dan penyusunan kalimat yang meminmbungunkan, sehingga pemahaman akan konsep yang di tawarkan menjadi sulit di pahami dan mengena, hal ini akan berbeda apa bila dalam penulisanya lebih menngunakan bahasa universal yang mudah di padami semua kalangan.
0 komentar:
Posting Komentar